Saturday, June 28, 2008

Derita Perawan Tua

Sabtu, 20 Oktober 2007 - Penulis : NNUR_W

Majelis Ta'aruf Klab Santri : Ketika umurku mulai mendekati 20 tahun, saya seperti gadis lainnya memimpikan seorang pemuda yang multazim dan berakhlak mulia. Dahulu saya membangun pemikiran serta harapan-harapan; bagaimana kami hidup nanti dan bagaimana kami mendidik anak-anak kami...

Saya adalah salah seorang yang sangat memerangi ta'adud (poligami). Hanya semata mendengar orang berkata kepadaku, "Fulan menikah lagi yang kedua," tanpa sadar saya mendo'akan agar ia celaka. Saya berkata, "Kalau saya adalah istrinya -yang pertama- pastilah saya akan mencampakkannya, sebagaimana ia telah mencampakkanku."

Saya sering berdiskusi dengan saudaraku dan terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta'addud. Mereka berusaha agar saya mau menerima ta'addud, sementara saya tetap keras kepala tidak mau menerima syari'at ta'addud. Saya katakan kepada mereka, "Mustahil wanita lain akan bersama denganku mendampingi suamiku." Terkadang saya menjadi penyebab munculnya problema-problema antara suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya; saya menghasutnya sehingga ia melawan kepada suaminya.

Begitulah, hari terus berlalu sedangkan saya masih menanti pemuda impianku. Saya menanti, akan tetapi ia belum juga datang dan saya masih terus menanti. Hampir 30 tahun umurku dalam penantian. Telah lewat 30 tahun, oh Illahi, apa yang harus kuperbuat? Apakah saya harus keluar untuk mencari pengantin laki-laki? Saya tidak sanggup, orang-orang akan berkata wanita ini tidak punya malu. Jadi, apa yang akan saya kerjakan? Tidak ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu.

Pada suatu hari ketika saya sedang duduk-duduk, saya mendengar salah seorang dari wanita berkata, "Fulanah jadi perawan tua." Aku berkata kepada diriku sendiri, "Kasihan Fulanah jadi perawan tua." Akan tetapi, fulanah yang dimaksud itu ternyata aku. Ya Illahi! Sesungguhnya itu adalah namaku, saya telah menjadi perawan tua. Bagaimana pun saya melukiskannya kepada kalian, kalian tidak akan bisa merasakannya. Saya dihadapkan pada sebuah kenyataan sebagai perawan tua. Saya mulai mengulang kembali perhitungan-perhitunganku, apa yang saya kerjakan?

Waktu terus berlalu, hari silih berganti, dan saya ingin menjerit. Saya ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di bawah naungannya, membantuku menyelesaikan problema-problemaku. Saudaraku yang laki-laki memang tidak melalaikanku sedikit pun, tetapi dia bukan seperti seorang suami. Saya ingin hidup; ingin melahirkan, dan menikmati kehidupan. Akan tetapi, saya tidak sanggup mengucapkan perkataan ini kepada kaum laki-laki. Mereka akan mengatakan, "Wanita ini tidak malu." Tidak ada yang bisa saya lakukan selain daripada diam. Saya tertawa, akan tetapi bukan dari hatiku. Apakah kalian ingin saya tertawa, sedangkan tanganku menggenggam bara api? Saya tidak sanggup.

Suatu hari, saudaraku yang paling besar mendatangiku dan berkata, "Hari ini telah datang calon pengantin, tapi saya menolaknya." Tanpa terasa saya berkata, "Kenapa kamu lakukan? Itu tidak boleh!" Ia berkata kepadaku, "Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri kedua, dan saya tahu kalau kamu sangat memerangi ta'addud (poligami)." Hampir saja saya berteriak di hadapannya, "Kenapa kamu tidak menyetujuinya?" Saya rela menjadi istri kedua, atau ketiga, atau keempat. Kedua tanganku di dalam api. Saya setuju, ya saya yang dulu memerangi ta'addud, sekarang menerimanya. Saudaraku berkata, "Sudah terlambat."

Sekarang saya mengetahui hikmah dalam ta'addud. Satu hikmah ini telah membuatku menerima, bagaimana dengan hikmah-hikmah yang lain? Ya Allah, ampunilah dosaku. Sesungguhnya saya dahulu tidak mengetahui. Kata-kata ini saya tujukan untuk kaum laki-laki, "Berta'addud-lah, nikahilah satu, dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil. Saya ingatkan kalian dengan firmanNya, "... Maka nikahilah olehmu apa yang baik bagimu dari wanita, dua, atau tiga, atau empat, maka jika kalian takut tidak mampu berlaku adil, maka satu." Selamatkanlah kami. Kami adalah manusia seperti kalian, merasakan juga kepedihan. Tutupilah kami, kasihanilah kami."

Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku muslimah yang telah bersuami, "Syukurilah nikmat ini karena kamu tidak merasakan panasnya api menjadi perawan tua. Saya harap kamu tidak marah apabila suamimu ingin menikah lagi dengan wanita lain. Janganlah kamu mencegahnya, akan tetapi doronglah ia. Saya tahu bahwa ini sangat berat atasmu. Akan tetapi, harapkanlah pahala di sisi Allah. Lihatlah keadaan saudarimu yang menjadi perawan tua, wanita yang dicerai, dan janda yang ditinggal mati; siapa yang akan mengayomi mereka? Anggaplah ia saudarimu, kamu pasti akan mendapatkan pahala yang sangat besar dengan kesabaranmu."

Engkau mungkin mengatakan kepadaku, "Akan datang seorang bujangan yang akan menikahinya." Saya katakan kepadamu, "Lihatlah sensus penduduk. Sesungguhnya jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Jika setiap laki-laki menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-wanita kita yang menjadi perawan tua. Jangan hanya memikirkan diri sendiri saja. Akan tetapi, pikirkan juga saudarimu. Anggaplah dirimu berada dalam posisinya."

Engkau mungkin juga mengatakan, "Semua itu tidak penting bagiku, yang penting suamiku tidak menikah lagi." Saya katakan kepadamu, "Tangan yang berada di air tidak seperti tangan yang berada di bara api. Ini mungkin terjadi. Jika suamimu menikah lagi dengan wanita lain, ketahuilah bahwasannya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal. Janganlah kamu egois, dan janganlah kamu halangi saudarimu dari nikmat ini. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri." (*)

Demi Allah, kalau kamu merasakan api menjadi perawan tua, kemudian kamu menikah, kamu pasti akan berkata kepada suamimu, "Menikahlah dengan saudariku dan jagalah ia." Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu kemuliaan, kesucian, dan suami yang shalih.

*) HR. Bukhari dalam kitab Iman no. 13 dan Muslim no. 45.

Disalin oleh Jilbab Online dari buku "Istriku Menikahkanku", As-Sayid bin Abdul Aziz As-Sa'dani, Darul Falah, Agustus 2004.

Sumber : jilbab.or.id

No comments: